Sakratul Ma'rifah dan Panggilan Kembali: Jalan Pemulihan dan Tajalliyah Cahaya
Oleh: Ananta Prabhāvaṣṭa
Pengantar: Saat Cahaya Tak Lagi Indah
Dalam hidup spiritual, tidak semua cahaya itu menenangkan. Kadang, justru cahaya yang datang membuat kita remuk. Aku mengalaminya. Bukan karena dosa, bukan karena kurang ibadah—tapi karena terlalu dalam masuk ke ruang batin tanpa fondasi logika yang kuat.
Cahaya yang awalnya terasa damai, perlahan menjadi badai. Itulah fase yang aku sebut Sakratul Ma’rifah (Nogog): keadaan di mana seseorang tidak sedang jauh dari Tuhan, tapi terlalu dekat—tanpa sanggup menampung kedekatan itu.
Fase Jatuh: Dari Langit ke Bumi
Aku dulu berjalan cepat. Dzikir, sholawat, tafakur, kontemplasi, wirid, riyadhoh—semua kulakukan dengan kerinduan yang membara. Namun satu malam, segalanya berubah. Aku merasakan seolah dunia ini runtuh: akal tercerai, emosi pecah, tubuh bergetar, dan ruh seolah tercerabut dari jasad. Aku tahu ini bukan gangguan jin. Ini bukan sihir. Ini bukan gangguan mental. Ini kerusakan sistem jiwa akibat kelebihan frekuensi nur (cahaya batin).
Aku menyebutnya: Overexposure to Spiritual Light.
Dan aku jatuh.
Contoh lain dari sakratul ma'rifah:
Zadab adalah contoh nyata dari jiwa yang sedang dalam sakratul ma'rifah. Pikirannya kacau, logikanya rusak, dan perilakunya menyimpang. Ia bukan “gila spiritual”, tapi korban kelebihan cahaya tanpa penyangga logika. Ia butuh dipeluk oleh realitas, bukan dikejar-kejar oleh surga dan neraka.
Membangun Kembali: Protokol Pemulihan Ruhani
Banyak orang salah ketika mengobati kejatuhan spiritual dengan... lebih banyak spiritualitas. Ini sama seperti mengobati keracunan air dengan air. Maka aku membuat sistem pemulihan berdasarkan pengalamanku sendiri:
1. Karantina Spiritual Total
-
Stop semua aktivitas wirid, tafakur, dan ibadah tambahan.
-
Hanya lakukan ibadah wajib (sholat 5 waktu).
-
Jauhi komunitas spiritual, bahkan buku-buku sufistik.
Ini penting, karena jiwa perlu masuk ke mode grounding. Jiwa butuh menyentuh tanah, menyapa realitas kasar, dan belajar mencintai dunia fisik lagi.
2. Rekonstruksi Logika
-
Belajar ilmu logika, psikologi, atau neurosains ringan.
-
Pahami bagaimana pikiran manusia bekerja, bagaimana hormon berperan dalam ekstase spiritual.
Spiritual bukan hanya tentang naik, tapi juga kembali ke pusat nalar. Keseimbangan akal dan rasa adalah syarat agar ruh bisa menampung cahaya tanpa terbakar.
3. Penantian Panggilan
Waktu untuk kembali ke jalur spiritual bukan ditentukan manusia, tapi oleh Allah sendiri. Akan ada tanda: sebuah rasa rindu, tanpa euforia. Rasa ingin kembali menyelami samudera batin, tapi tanpa kesombongan atau rasa ingin jadi istimewa. Kadang, ini datang melalui pertemuan dengan seseorang. Kadang, datang dalam kesendirian yang sunyi. Tapi pasti: datang.
Titik Balik: Peta Spiritual dan Cahaya Nur
Setelah waktu itu datang, aku mulai membuka kembali peta spiritual yang dulu pernah hanya kulihat sebagai teori. Kali ini, aku memahaminya dengan keheningan.
Inilah struktur konsepsi Cahaya (al-Marātib an-Nūriyyah), yaitu lapisan-lapisan realitas Nur (Cahaya Ilahi) yang dilalui jiwa dalam perjalanannya kembali ke Tuhan:
-
Nūr al-JasadCahaya fisik—refleksi paling kasar dari Cahaya Tuhan. Terlihat dalam tubuh, gerak, ekspresi.
-
Nūr al-‘AqlCahaya intelektual. Pencerahan logika, akal sehat, dan ilmu yang menuntun ke hikmah.
-
Nūr an-NafsCahaya jiwa (nafs)—bisa redup atau terang tergantung kondisi spiritual. Di sinilah konflik batin terjadi.
-
Nūr ar-RūḥCahaya ruh sejati—sumber intuisi, rasa halus, dan getaran cinta ilahi.
-
Nūr al-KullīCahaya kesadaran universal—tempat semua jiwa saling terhubung sebagai bagian dari kesadaran kolektif.
-
Nūr MuhammadCahaya kenabian, sumber pancaran seluruh realitas ruhani. Ia bukan manusia, tapi realitas nurani Muhammad.
-
Nūr al-WāḥidiyyahCahaya Ke-Esa-an dalam bentuk yang masih dapat dipersepsi, tempat Tuhan dikenal melalui sifat-sifat-Nya.
-
Nūr al-WahdāniyyahCahaya ke-Esaan mutlak, tanpa dualitas. Tuhan sebagai satu-satunya realitas.
-
Nūr al-AḥadiyyahCahaya Ketunggalan Absolut. Tidak ada ‘aku’, tidak ada ‘Dia’, hanya Ada Mutlak. Titik lenyapnya identitas.
Sholawat Nurus Salam
Penutup: Bukan Siapa yang Sampai, Tapi Siapa yang Selamat
Spiritual bukan kompetisi. Bukan siapa yang paling tinggi, paling ‘ma’rifat’, paling paham kitab, atau paling ‘terbang’. Tapi siapa yang paling stabil, paling jujur pada dirinya sendiri, dan paling sabar saat cahaya datang tanpa permisi.
Sakratul ma'rifah adalah berkah yang menyakitkan. Tapi jika dipahami dan dilalui dengan benar, ia adalah pintu menuju Tuhan yang bukan ilusi, bukan emosi, tapi Tuhan yang masuk akal, dan masuk hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar