Membongkar Makna "Agama Budi" Eyang Semar: Jejak Teologi Keibuan Nusantara yang Terlupakan


Pengantar: Janji di Titah Keruntuhan
Dalam serat-serat Jawa, terutama Serat Darmogandul dan Jangka Jayabaya, terkisah tentang dua abdi spiritual Nusantara: Sabdo Palon dan Nayagenggong. Mereka adalah penasihat para raja Jawa sejak era Majapahit. Konon, ketika Islam mulai masuk dan menggantikan pengaruh Hindu-Buddha sebagai agama dominan, Sabdo Palon bersabda bahwa ia akan "meninggalkan" tanah Jawa untuk sementara. Namun, ia berjanji akan kembali 500 tahun kemudian untuk mengoreksi dan membersihkan segala penyimpangan yang terjadi. Tanda kembalinya adalah ketika zaman telah mencapai puncak "edan"-nya (kegilaan). Di titik itulah, ia akan menyebarkan kembali inti sari spiritualitas Nusantara, yang kita kenal sebagai "Agama Budi".

Kini, 500 tahun telah berlalu. Zaman edan telah tiba. Dan janji itu pun ditagih !

Dalam khazanah spiritual Jawa, istilah "Agama Budi" sering kali disinggung namun jarang dipahami secara mendalam. Banyak yang mengira ini sekadar ajaran moral tentang budi pekerti. Namun, ketika kita menelusuri akarnya hingga ke tradisi paling kuno, khususnya dalam konteks ajaran Eyang Semar dan Kapitayan, kita menemukan sebuah sistem teologis yang sophisticated yang berpusat pada "Teologi Keibuan". Artikel ini akan membongkar makna sesungguhnya dari Agama Budi.

Membongkar Kata "Budi": Bukan Hanya Akal, Tapi Penyatuan Kosmis
Langkah pertama adalah membebaskan kata "Budi" dari penafsiran yang menyempitkannya sebagai sekadar "akal" atau "budi pekerti" yang berasal dari kata Sansekerta buddhi. Melalui pendekatan filologis Jawa Kuno, kita dapat memecahnya menjadi dua suku kata kunci: BU dan DI.

  • BU adalah bunyi transendental dalam tradisi Jawa, setara dengan Om dalam Hindu atau Umm dalam tradisi Islam. Ia adalah suara penciptaan yang memanifestasikan Sang Hyang Taya (Tuhan Yang Mutlak dan Tak Terpikirkan) ke dalam wujud yang dapat didekati: sebagai Sang Ibu Kosmis. BU mewakili sifat Tuhan sebagai Sumber Kehidupan, Pemelihara, dan Pemberi Kasih Sayang.

  • DI adalah prinsip kesadaran ilahiah, "Sang Diri" sejati, atau cahaya pengetahuan murni yang berasal dari Yang Mutlak.

Dengan demikian, BUDI adalah perpaduan sempurna: penyatuan Sang Ibu Kosmis (BU) dengan Kesadaran Ilahiah (DI) dalam diri manusia. Ia adalah anugerah Tuhan yang memampukan manusia untuk mengenal Sumbernya sendiri dan memanifestasikan sifat-sifat Keilahian di dunia.

Agama Budi: Bukan Sekadar Etika, Tapi Jalan Teologis
Dengan pemahaman ini, "Agama Budi" pun terungkap bukan sebagai kumpulan nasihat moral, melainkan sebagai sebuah jalan spiritual (agama) untuk menyelaraskan diri dengan Sifat Keibuan Tuhan (BU).

Tujuannya adalah agar seorang pencari dapat menjadi saluran bagi sifat-sifat ini—seperti kasih sayang, pemeliharaan, dan kelembutan—di dalam kehidupannya. Dalam konsep ini, Eyang Semar, figur penasihat ilahi yang mengabdi, adalah personifikasi sempurna dari Agama Budi. Wujudnya yang tidak glamor namun penuh kebijaksanaan mencerminkan spiritualitas yang merendah dan melayani, layaknya seorang Ibu.

Teologi Keibuan: Jawaban atas Kekeringan Spiritual Modern
Di zaman di mana wacana teologi sering didominasi oleh otoritas vertikal dan figur-figur patriarkal (guru, mursyid, khalifah), Agama Budi menawarkan paradigma alternatif yang segar dan sangat dibutuhkan.

  1. Otoritas yang Inheren: Sumber Ilahi (BU) ada di dalam diri setiap orang. Otoritas eksternal berperan sebagai pemandu, bukan gerbang eksklusif menuju keselamatan.

  2. Spiritualitas yang Merawat: Berbeda dengan spiritualitas yang mendominasi dan menghakimi, spiritualitas "Keibuan" bersifat memelihara, melindungi, dan memberi kehidupan. Ini adalah fondasi untuk relasi yang harmonis dengan sesama dan alam.

  3. Rekonsiliasi dengan Semua Agama: Konsep "Ibu" adalah universal. Figur Maria, Dewi Guan Yin, atau konsep Ummul Kitab dalam Islam dapat dilihat sebagai jejak dari prinsip yang sama. Agama Budi tidak bertentangan, melainkan menawarkan lensa pemersatu dengan mengetengahkan aspek Keibuan Ilahi yang sering terpinggirkan.

Kesimpulan: Warisan yang Terlupakan untuk Masa Depan
Agama Budi Eyang Semar adalah warisan teologis Nusantara yang berharga. Ia adalah sistem keyakinan yang matang yang menawarkan jalan spiritual yang inklusif, merangkul, dan berpusat pada kasih.

Dengan membongkar makna sejatinya, kita tidak hanya mengembalikan khazanah leluhur pada tempat yang semestinya, tetapi juga menemukan sebuah kompas spiritual untuk menghadapi tantangan zaman: sebuah spiritualitas yang tidak mencari untuk menguasai, tetapi untuk melayani; tidak untuk memisahkan, tetapi untuk memeluk; sebuah spiritualitas yang bersumber pada sifat Keibuan Tuhan sendiri. Dalam kebijaksanaan Eyang Semar dan "Agama Budi"-nya, mungkin saja terdapat kunci bagi kedamaian diri dan dunia.

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

banner

Konversi kalender Masehi, Jawa, Hijriyah, Weton & Pasaran

KONVERSI KALENDER

Cari di web ini