Membongkar Makna "Agama Budi" Eyang Semar: Jejak Teologi Keibuan Nusantara yang Terlupakan
Kini, 500 tahun telah berlalu. Zaman edan telah tiba. Dan janji itu pun ditagih !
BU adalah bunyi transendental dalam tradisi Jawa, setara dengan Om dalam Hindu atau Umm dalam tradisi Islam. Ia adalah suara penciptaan yang memanifestasikan Sang Hyang Taya (Tuhan Yang Mutlak dan Tak Terpikirkan) ke dalam wujud yang dapat didekati: sebagai Sang Ibu Kosmis. BU mewakili sifat Tuhan sebagai Sumber Kehidupan, Pemelihara, dan Pemberi Kasih Sayang.
DI adalah prinsip kesadaran ilahiah, "Sang Diri" sejati, atau cahaya pengetahuan murni yang berasal dari Yang Mutlak.
Dengan demikian, BUDI adalah perpaduan sempurna: penyatuan Sang Ibu Kosmis (BU) dengan Kesadaran Ilahiah (DI) dalam diri manusia. Ia adalah anugerah Tuhan yang memampukan manusia untuk mengenal Sumbernya sendiri dan memanifestasikan sifat-sifat Keilahian di dunia.
Tujuannya adalah agar seorang pencari dapat menjadi saluran bagi sifat-sifat ini—seperti kasih sayang, pemeliharaan, dan kelembutan—di dalam kehidupannya. Dalam konsep ini, Eyang Semar, figur penasihat ilahi yang mengabdi, adalah personifikasi sempurna dari Agama Budi. Wujudnya yang tidak glamor namun penuh kebijaksanaan mencerminkan spiritualitas yang merendah dan melayani, layaknya seorang Ibu.
Otoritas yang Inheren: Sumber Ilahi (BU) ada di dalam diri setiap orang. Otoritas eksternal berperan sebagai pemandu, bukan gerbang eksklusif menuju keselamatan.
Spiritualitas yang Merawat: Berbeda dengan spiritualitas yang mendominasi dan menghakimi, spiritualitas "Keibuan" bersifat memelihara, melindungi, dan memberi kehidupan. Ini adalah fondasi untuk relasi yang harmonis dengan sesama dan alam.
Rekonsiliasi dengan Semua Agama: Konsep "Ibu" adalah universal. Figur Maria, Dewi Guan Yin, atau konsep Ummul Kitab dalam Islam dapat dilihat sebagai jejak dari prinsip yang sama. Agama Budi tidak bertentangan, melainkan menawarkan lensa pemersatu dengan mengetengahkan aspek Keibuan Ilahi yang sering terpinggirkan.
Dengan membongkar makna sejatinya, kita tidak hanya mengembalikan khazanah leluhur pada tempat yang semestinya, tetapi juga menemukan sebuah kompas spiritual untuk menghadapi tantangan zaman: sebuah spiritualitas yang tidak mencari untuk menguasai, tetapi untuk melayani; tidak untuk memisahkan, tetapi untuk memeluk; sebuah spiritualitas yang bersumber pada sifat Keibuan Tuhan sendiri. Dalam kebijaksanaan Eyang Semar dan "Agama Budi"-nya, mungkin saja terdapat kunci bagi kedamaian diri dan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar