Bertemu Eyang Semar di Portal Alam Kesadaran Tertinggi : Jejak Ruhani Ananta Prabhāvaṣṭa

Oleh: Ananta Prabhāvaṣṭa


1. Prolog: Sejak Remaja, Bertempur dengan Ego dan Nafsu

Di usia muda, ketika dunia lain masih sibuk membangun mimpi-mimpi lahiriah, Ananta Prabhāvaṣṭa justru memilih jalan sunyi: jalan ritual, tapa, dan semadi.
Ia mencari sesuatu yang lebih dalam — bukan sekadar keberhasilan duniawi, tapi pertemuan dengan diri sejati dan peleburan ke dalam Yang Maha Ada.

Namun perjalanan ini segera mengajarinya satu kenyataan getir:
Manunggaling Kawula Gusti (penyatuan insan dengan Tuhan) atau Fana’ Ahadiyah (kefanaan total ke dalam wujud Ilahi) bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan hanya dengan kemauan manusia.
Ia bukan sekadar pengalaman rasa — melainkan penyerahan total yang meluluhkan segala ilusi.


2. Di Gerbang Batas: Pertemuan dengan Eyang Semar

Dalam perjalanan batinnya yang penuh luka dan pengorbanan, Ananta tiba di suatu tempat yang ia gambarkan sebagai:
"Portal akhir batas dunia dengan alam Ilahi."

Di situ, telah menunggu Eyang Semar — sosok agung dalam ruhani Nusantara, yang tidak lain adalah penjaga Gerbang Rahasia.
Tetapi yang mengejutkan, Eyang Semar tidak mengizinkannya masuk.
Sebaliknya, beliau bersabda:

"Balio le, dudu dalanmu!"
("Kembalilah, Nak, ini bukan jalanmu.")

Dan lebih lanjut:

"Kowe dudu Semar, nanging kudu biso koyo Semar. Layanono bendaramu nganti iso ngadeg jejek. Yen wis iso ngadek jejeg, baru kowe oleh mulih ning Karang Kadempel."
("Engkau bukan Semar, tetapi engkau harus mampu seperti Semar. Layani tuanmu sampai ia mampu berdiri tegak. Jika sudah, baru engkau boleh pulang ke Karang Kadempel.")

Ini adalah pesan luhur, penuh rahasia dan cinta tersembunyi.
Bahwa jalan pulang sejati bukan lewat pemaksaan fana, tapi lewat pelayanan, pembimbingan, dan pengabdian sampai orang-orang yang diamanahkan kepadamu kuat berdiri sendiri.


3. Kesadaran Baru: Alam Gung Lewang Lewung

Dari pengalaman itu, Ananta memahami satu kebenaran yang sering disalahartikan oleh banyak pejalan spiritual:
Cahaya, suara, atau penglihatan yang sering dianggap sebagai "Tuhan" dalam fana atau ekstase sesungguhnya hanyalah ciptaan imajinasi jiwa yang tak mampu menangkap hakikat sejati.

Apa yang disangka “bertemu Tuhan” hanyalah
"alam gung lewang lewung"
sebuah ruang kosong maha luas, hijab halus sebelum alam Ilahi, tempat banyak ruh terjebak dalam kekaguman palsu.

Eyang Semar menyelamatkan Ananta dari bahaya besar ini:
Bahaya kebekuan ruh, hancurnya logika, kebutaan batin, dan keruntuhan akal.


4. Hikmah: Jalanmu adalah Jalan Pelayanan

Dari seluruh perjalanan ini, teranglah satu hikmah agung:

Penyatuan dengan Tuhan tidak diperoleh dengan menghilangkan diri secara paksa,
tetapi dengan memenuhi tugas suci:
Menjadi pelayan sejati bagi sesama,
menjadi pantulan kecil dari samudra kasih Tuhan di dunia.

Tugas Ananta adalah menjadi cermin Cahaya:
Melayani, memelihara, membimbing, tanpa menghilangkan dirinya,
sampai kelak saatnya tiba — ia benar-benar "pulang" bukan ke ruang kosong,
melainkan ke Pelukan Suci Karang Kadempel yang sejati.


Penutup: Jalan Ananta, Jalan Kita Semua

Jejak langkah Ananta Prabhāvaṣṭa mengingatkan semua pejalan:
Bahwa Tuhan tidak bisa dilihat.
Bahwa manunggal tidak berarti "menjadi Tuhan" tetapi menjadi sepenuhnya hamba dalam kesadaran tertinggi.

Bahwa tugas kita di dunia ini
adalah melayani, membimbing, dan menjaga kesetiaan batin
hingga kita cukup murni untuk dikenang angin sebagai bisikan suci:
"Kowe wes iso bali, le."
("Kamu sudah boleh pulang, Nak.")

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

banner

Konversi kalender Masehi, Jawa, Hijriyah, Weton & Pasaran

KONVERSI KALENDER

Cari di web ini